di lema hati orang tua:
Ada masa-masa di mana rasa bersalah itu menyelinap di hati.
"Apakah aku terlalu tega membiarkan anak kecil ini menghabiskan seharian penuh di sekolah?"
Ada juga masa-masa di mana komentar orang lain terasa menusuk.
"Ah, orang tua sekarang, malas. Anak kecil saja diserahkan ke sekolah."
Tapi di balik semua itu, ada satu alasan yang tak pernah berubah:
Kami memilih ini karena cinta.
Cinta yang berpikir jauh ke depan, cinta yang ingin menyiapkan anak menghadapi dunia yang sesungguhnya.
Cinta yang diam-diam berdoa di setiap langkah kecil mereka.
Menyekolahkan Anak Full Day Bukan Karena Malas, Tapi Karena Cinta
Kadang ada saja bisikan yang terdengar,
"Kasihan, anak kecil sudah seharian di sekolah."
"Orang tuanya pasti malas ngurusin di rumah."
"Kenapa sih tega banget, harusnya anak kecil itu banyak main di rumah."
Sebagai orang tua yang menyekolahkan anak full day, sesekali telinga ini memang mendengar komentar seperti itu.
Sakit? Jujur, kadang iya.
Tapi lebih dari itu, kami memilih diam. Karena kami tahu, keputusan ini bukan karena malas.
Keputusan ini lahir dari cinta.
Cinta yang kadang tidak semua orang lihat dari luar.
Bukan Karena Malas, Tapi Karena Ingin Anak Tumbuh Optimal
Kami ingin anak-anak punya lingkungan belajar yang kondusif.
Kami ingin mereka belajar banyak hal — bukan hanya membaca dan berhitung, tapi juga mengenal disiplin, tanggung jawab, kerja sama, dan manajemen waktu.
Dalam teori perkembangan anak menurut Jean Piaget, usia dini hingga masa sekolah dasar adalah fase operasional konkret,
di mana anak-anak belajar melalui pengalaman langsung dan mulai berpikir logis tentang dunia nyata.
Selain itu, dalam teori modeling atau observational learning yang dikemukakan oleh Albert Bandura, anak-anak belajar dengan cara meniru perilaku yang mereka lihat.
Mereka memperhatikan, meniru, lalu mempraktikkan apa yang mereka amati dari lingkungan sekitar, termasuk guru dan teman-temannya.
Artinya, dengan menyekolahkan anak di lingkungan sekolah full day yang positif, anak-anak tidak hanya belajar dari buku,tetapi juga belajar dari keteladanan nyata: bagaimana berteman, bagaimana bersikap jujur, disiplin, dan menghargai sesama.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi."
Hadis ini mengingatkan kita bahwa anak-anak sangat bergantung pada lingkungan dan teladan yang mereka terima sejak kecil.
Maka memilihkan lingkungan pendidikan yang baik - seperti sekolah full day yang mendukung karakter islami, tanggung jawab, dan kerja keras - adalah bentuk nyata cinta dan ikhtiar orang tua untuk menjaga fitrah anak.
Bukan Karena Ingin Mudah, Tapi Karena Ingin Masa Depan Anak Lebih Baik
Kami tahu, mendidik anak itu perjalanan panjang.
Bukan hanya tentang hari ini - apakah anak nyaman, apakah anak senang - tapi tentang masa depan mereka.
Bagaimana mereka akan tumbuh menjadi manusia yang kuat, mandiri, berkarakter.
Dalam psikologi pendidikan, konsep self-regulated learning (Zimmerman) mengajarkan bahwa anak perlu diajarkan mengatur diri sendiri:
mengelola waktu, emosi, tugas, dan interaksi sosial.
Semua itu dipupuk dari pengalaman langsung, tidak cukup hanya dari teori di rumah.
Mungkin hari ini mereka lelah seharian di sekolah.
Mungkin hari ini mereka mengeluh ingin cepat pulang.
Tapi kami percaya, dengan pendampingan penuh kasih di rumah, dengan komunikasi yang hangat sepulang sekolah,
anak-anak akan belajar satu hal besar:
Bahwa hidup memang penuh tantangan, dan tidak apa-apa merasa lelah dalam proses menjadi lebih baik.
Cinta Itu Kadang Berbentuk Keputusan Sulit
Menyekolahkan anak full day bukan keputusan ringan.
Banyak air mata. Banyak kekhawatiran.
Banyak malam kami memikirkan: "Apakah ini yang terbaik?"
Dalam perspektif Attachment Theory (John Bowlby), kelekatan yang aman tidak dibangun semata-mata dari lamanya waktu bersama,
tetapi dari kualitas interaksi: rasa aman, cinta, dan kepercayaan yang terus terjaga.
Pun dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad SAW adalah teladan utama dalam pendidikan anak, bukan hanya melalui kata-kata, tapi lewat perilaku nyata.
Beliau bermain dengan anak-anak, memeluk mereka, mendengarkan mereka,
sehingga anak-anak merasa dihargai dan dicintai - bahkan di tengah kesibukan beliau sebagai pemimpin umat.
Untuk Semua Orang Tua yang Pernah Ragu
Untuk semua orang tua yang pernah merasa bersalah karena memilih full day school untuk anaknya ,
Tenanglah.
Kamu tidak egois.
Kamu tidak malas.
Kamu memilih dengan hati. Kamu memilih dengan harapan dan doa.
Dan kelak, anak-anak akan tahu:
Di balik setiap hari panjang di sekolah, ada cinta yang tak pernah berkurang di rumah.
> Karena cinta tidak selalu terlihat dari berapa lama kita bersama mereka,
tapi dari seberapa dalam kita memikirkan masa depan mereka.
L3 Sudut Lesehan Puswil Aceh
Salam
Fadhlina H
Masyaallah Bu .. terharu saya bacanya.... Smoga ank2 kita menjadi anak yg Sholeh dan Sholeha dan kelak menjadi anak2 yg sukses kebanggaan orang tua dan agama insyaallah
BalasHapus