Selasa, 29 April 2025

Lighthouse Parenting: Cara Baru Mendidik Anak Tanpa Overprotektif.


Lighthouse Parenting: Cara Baru Mendidik Anak Tanpa Overprotektif

Pagi hari di rumah kami adalah medan latihan sabar yang sesungguhnya. Sebagai ibu dari enam anak, saya hampir selalu memulai hari dengan multitasking: membangunkan anak, mempersiapkan bekal, melerai yang bertengkar, mengejar yang ogah mandi, hingga menenangkan yang sedang merajuk.

Dulu saya pikir saya harus mengatur semua agar berjalan sempurna. Tapi semakin anak-anak bertambah besar, saya menyadari: peran saya bukan untuk menggenggam erat, melainkan untuk membimbing dengan bijak.

Itulah saat saya mengenal konsep Lighthouse Parenting—dan saya langsung terhubung.

---

Apa Itu Lighthouse Parenting?

Lighthouse Parenting adalah pendekatan pengasuhan yang diperkenalkan oleh Dr. Kenneth Ginsburg. Ia menggambarkan peran orang tua seperti mercusuar: teguh berdiri, memberi cahaya, tapi tidak mengejar kapal ke mana-mana. Orang tua cukup hadir sebagai penunjuk arah, bukan pengendali penuh.

Dalam Islam, kita diajarkan konsep yang sangat selaras dengan ini:

> “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa: 9)


Islam mendorong kita untuk membesarkan anak-anak menjadi pribadi kuat, bertakwa, dan berani menghadapi hidup, bukan hanya sekadar “selamat”.

---

Mengapa Ini Relevan?

Di zaman serba instan dan penuh tekanan ini, banyak dari kita tanpa sadar menjadi orang tua yang overprotektif. Kita ingin anak kita bebas dari luka, gagal, atau kecewa. Tapi Islam dan sains sama-sama mengajarkan: proses itulah yang membentuk jiwa tangguh.


Nabi Ibrahim AS tak membesarkan Nabi Ismail AS dalam kemanjaan. Justru dengan kepercayaan dan latihan kemandirian, beliau membentuk seorang anak yang siap berkata:

> "Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."(QS. Ash-Shaffat: 102)

Bukankah itu bentuk nyata dari keberhasilan pengasuhan yang berimbang?

---

Cara Saya Menerapkannya di Rumah

1. Mendelegasikan Peran

Anak-anak yang lebih besar belajar membantu adik-adiknya. Ini melatih tanggung jawab dan empati, serta menciptakan iklim tolong-menolong seperti yang diajarkan Rasulullah SAW.

2. Menguatkan, Bukan Menyalahkan

Saya belajar menahan lidah saat anak melakukan kesalahan. Saya bantu mereka merenung dan belajar, bukan langsung memarahi. Bukankah Nabi SAW pun tidak pernah memarahi pembantunya meski salah?

3. Berdoa dan Bertawakal

Setiap kali melepas mereka ke sekolah atau memberi ruang bagi mereka untuk memilih, saya iringi dengan doa. Sebab, pada akhirnya kita hanya bisa berikhtiar dan Allah-lah yang menjaga.

---

Kesulitan & Keuntungan

Tentu tidak mudah. Terkadang lebih cepat kalau saya yang langsung ambil alih. Tapi saya ingin anak-anak saya tumbuh bukan hanya cerdas, tapi berjiwa mandiri dan berani, seperti yang diajarkan dalam Islam.

Saat saya melihat mereka saling membantu, belajar meminta maaf, atau menyelesaikan konflik sendiri—saya tahu mereka sedang tumbuh menjadi pribadi yang utuh.

---

Kesimpulan: Menjadi Mercusuar Bercahaya Iman

Menjadi orang tua adalah amanah. Tapi amanah ini bukan untuk memegang kendali penuh, melainkan untuk mengarahkan dan menanamkan nilai-nilai hidup yang kokoh.

Lighthouse Parenting mengajarkan kita untuk percaya pada anak, sambil tetap hadir sebagai panutan. Dan Islam mengajarkan kita bahwa panutan terbaik adalah akhlak, bukan tekanan.


Maka hari ini, saya memilih menjadi mercusuar—yang memancarkan cahaya cinta, nilai, dan keimanan.

Karena anak-anak kita bukan milik kita sepenuhnya. Mereka titipan Allah, yang harus kita siapkan untuk menghadapi dunia dengan cahaya-Nya.


Ditulis sambil menemani Babyru bermain lego—karena di sela-sela lelah, ada cinta yang ingin dibagikan. Semoga jadi berkah dan penguat untuk para ibu yang sedang berjuang.

Salam.


Fadhlina H

Senin, 28 April 2025

Anak Laki-Laki Belajar dari Keteladanan Ayah, Bukan Hanya dari Kata-Katanya.

 



Anak Laki-Laki Belajar dari Keteladanan Ayah, Bukan Hanya dari Kata-Katanya.

Suatu pagi, anak laki-laki saya yang berumur tujuh tahun berkata dengan polosnya,
"Aku juga mau tidur lagi kayak Ayah." Saya terdiam. Bukan karena marah. Tapi karena sadar—anak ini sedang belajar. 
Bukan dari petuah atau ceramah kami, tapi dari apa yang ia lihat setiap hari.

Anak-anak itu peniru ulung. Mereka tidak butuh instruksi untuk meniru, mereka hanya butuh contoh.

Dan ayah, entah disadari atau tidak, adalah contoh pertama tentang "bagaimana menjadi laki-laki."


Keteladanan Ayah: Sekolah Kehidupan Pertama Anak Laki-Laki

Teori Social Learning dari Albert Bandura menjelaskan bahwa anak-anak belajar melalui proses mengamati, meniru, dan meniru ulang perilaku orang dewasa di sekitarnya. Apa yang mereka lihat secara berulang akan terekam kuat sebagai "kebenaran".

Maka jika anak laki-laki melihat ayah:

Tidur di saat ibu kewalahan,

Enggan membantu urusan rumah tangga,

Mengabaikan tangis anak atau suara istri yang kelelahan,


...maka semua itu akan mereka pelajari sebagai "normal".

Sebaliknya, jika ia melihat ayah:

Bangun lebih awal dan membantu menyiapkan anak,

Memeluk ibu di tengah hiruk pikuk pagi,

Mengajaknya berbicara dengan empati,


...maka ia belajar bahwa menjadi laki-laki berarti ikut peduli, ikut bertanggung jawab, dan ikut merawat.


Ayah Adalah Pemimpin Keluarga.

Rasulullah SAW bersabda:

> "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya."
(HR. Bukhari dan Muslim)


Peran ayah bukan hanya sebagai pencari nafkah, tetapi juga sebagai teladan utama. Anak-anak, khususnya anak laki-laki, akan mengembangkan identitasnya sebagai laki-laki dari bagaimana ayah menjalani hidupnya.

---

Bukan Soal Sempurna, Tapi Soal Usaha

Sejujurnya, tidak ada ayah yang sempurna. Tapi setiap ayah bisa memilih untuk tidak abai.
Bisa memilih untuk tidak tidur saat istri kelimpungan.
Bisa memilih untuk tidak bungkam saat anak-anak butuh pendengar.
Bisa memilih untuk bangkit dari zona nyaman, dan hadir secara utuh—bukan sekadar fisik, tapi juga hati dan tindakan.

> Rasulullah SAW mencium cucunya Hasan bin Ali di hadapan seorang sahabat. Sahabat itu berkata, “Aku punya sepuluh anak, tak pernah kucium satu pun.” Maka Rasulullah bersabda,
"Siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi."
(HR. Bukhari dan Muslim)



Kasih sayang dan keteladanan itu nyata. Bisa dilihat, bisa dirasakan, dan bisa ditiru oleh anak-anak kita.

---

Ayah, Anak Laki-Lakimu Sedang Melihatmu.

Anak laki-laki belajar menjadi suami dan ayah bukan dari seminar atau video motivasi. Mereka belajar dari caramu mencintai ibunya, dari caramu memimpin rumah, dan dari caramu menghadapi hidup.

Jadi jika ingin anak laki-laki tumbuh menjadi sosok yang bertanggung jawab, penyayang, dan kuat secara emosi—
Berikan ia sosok itu, setiap hari, lewat dirimu.

Karena mereka tak butuh ayah yang tak pernah salah,
Mereka hanya butuh ayah yang mau memperbaiki diri.



Sebagai seorang ibu, saya sering merasa berada di persimpangan antara lelah dan ingin menyerah.
Kadang rasanya ingin marah, kadang hanya ingin dimengerti.
Melihat anak-anak tumbuh, sambil berjuang seorang diri, membuat saya bertanya:
"Apakah saya sendiri yang merasakan ini? Ataukah banyak ibu di luar sana yang juga merasakannya?"

Kalau kamu, bagaimana perasaanmu tentang peran ayah di rumah?
Apakah kamu juga pernah mengalami situasi di mana anak-anak meniru perilaku ayahnya, entah itu membuatmu tersenyum... atau justru membuatmu terdiam?

Yuk, berbagi cerita di kolom komentar.
Karena mungkin... kita butuh tahu, bahwa kita tidak berjuang sendirian. 

salam


Fadhlina H

Full Day: Dilema Cinta dan Rasa, Investasi Masa Depan Anak

"Belajar, bermain, lalu terlelap bersama, tikar sederhana, mimpi mimpi besar. anak-anak hebat ini sedang menyiapkan masa depan mereka dengan ketulusan hati. kalau sudah lelah tikar pun terasa kasur istana" Doc pribadi santri fullday.


di lema hati orang tua: 

Ada masa-masa di mana rasa bersalah itu menyelinap di hati.

"Apakah aku terlalu tega membiarkan anak kecil ini menghabiskan seharian penuh di sekolah?"

Ada juga masa-masa di mana komentar orang lain terasa menusuk.

"Ah, orang tua sekarang, malas. Anak kecil saja diserahkan ke sekolah."


Tapi di balik semua itu, ada satu alasan yang tak pernah berubah:

Kami memilih ini karena cinta.

Cinta yang berpikir jauh ke depan, cinta yang ingin menyiapkan anak menghadapi dunia yang sesungguhnya. 

Cinta yang diam-diam berdoa di setiap langkah kecil mereka.


Menyekolahkan Anak Full Day Bukan Karena Malas, Tapi Karena Cinta


Kadang ada saja bisikan yang terdengar,

"Kasihan, anak kecil sudah seharian di sekolah."

"Orang tuanya pasti malas ngurusin di rumah."

"Kenapa sih tega banget, harusnya anak kecil itu banyak main di rumah."


Sebagai orang tua yang menyekolahkan anak full day, sesekali telinga ini memang mendengar komentar seperti itu.

Sakit? Jujur, kadang iya.

Tapi lebih dari itu, kami memilih diam. Karena kami tahu, keputusan ini bukan karena malas.

Keputusan ini lahir dari cinta.

Cinta yang kadang tidak semua orang lihat dari luar.


Bukan Karena Malas, Tapi Karena Ingin Anak Tumbuh Optimal

Kami ingin anak-anak punya lingkungan belajar yang kondusif.

Kami ingin mereka belajar banyak hal — bukan hanya membaca dan berhitung, tapi juga mengenal disiplin, tanggung jawab, kerja sama, dan manajemen waktu.

Dalam teori perkembangan anak menurut Jean Piaget, usia dini hingga masa sekolah dasar adalah fase operasional konkret,

di mana anak-anak belajar melalui pengalaman langsung dan mulai berpikir logis tentang dunia nyata.

Selain itu, dalam teori modeling atau observational learning yang dikemukakan oleh Albert Bandura, anak-anak belajar dengan cara meniru perilaku yang mereka lihat.

Mereka memperhatikan, meniru, lalu mempraktikkan apa yang mereka amati dari lingkungan sekitar, termasuk guru dan teman-temannya. 

Artinya, dengan menyekolahkan anak di lingkungan sekolah full day yang positif, anak-anak tidak hanya belajar dari buku,tetapi juga belajar dari keteladanan nyata: bagaimana berteman, bagaimana bersikap jujur, disiplin, dan menghargai sesama.


Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi." 

Hadis ini mengingatkan kita bahwa anak-anak sangat bergantung pada lingkungan dan teladan yang mereka terima sejak kecil.

Maka memilihkan lingkungan pendidikan yang baik - seperti sekolah full day yang mendukung karakter islami, tanggung jawab, dan kerja keras - adalah bentuk nyata cinta dan ikhtiar orang tua untuk menjaga fitrah anak.

Bukan Karena Ingin Mudah, Tapi Karena Ingin Masa Depan Anak Lebih Baik

Kami tahu, mendidik anak itu perjalanan panjang.

Bukan hanya tentang hari ini - apakah anak nyaman, apakah anak senang - tapi tentang masa depan mereka.

Bagaimana mereka akan tumbuh menjadi manusia yang kuat, mandiri, berkarakter.

Dalam psikologi pendidikan, konsep self-regulated learning (Zimmerman) mengajarkan bahwa anak perlu diajarkan mengatur diri sendiri:

mengelola waktu, emosi, tugas, dan interaksi sosial.

Semua itu dipupuk dari pengalaman langsung, tidak cukup hanya dari teori di rumah.

Mungkin hari ini mereka lelah seharian di sekolah.

Mungkin hari ini mereka mengeluh ingin cepat pulang.

Tapi kami percaya, dengan pendampingan penuh kasih di rumah, dengan komunikasi yang hangat sepulang sekolah,

anak-anak akan belajar satu hal besar:

Bahwa hidup memang penuh tantangan, dan tidak apa-apa merasa lelah dalam proses menjadi lebih baik.


Cinta Itu Kadang Berbentuk Keputusan Sulit

Menyekolahkan anak full day bukan keputusan ringan.

Banyak air mata. Banyak kekhawatiran.

Banyak malam kami memikirkan: "Apakah ini yang terbaik?"


Dalam perspektif Attachment Theory (John Bowlby), kelekatan yang aman tidak dibangun semata-mata dari lamanya waktu bersama,

tetapi dari kualitas interaksi: rasa aman, cinta, dan kepercayaan yang terus terjaga.

Pun dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad SAW adalah teladan utama dalam pendidikan anak, bukan hanya melalui kata-kata, tapi lewat perilaku nyata.

Beliau bermain dengan anak-anak, memeluk mereka, mendengarkan mereka,

sehingga anak-anak merasa dihargai dan dicintai - bahkan di tengah kesibukan beliau sebagai pemimpin umat.


Untuk Semua Orang Tua yang Pernah Ragu

Untuk semua orang tua yang pernah merasa bersalah karena memilih full day school untuk anaknya ,

Tenanglah.

Kamu tidak egois.

Kamu tidak malas.

Kamu memilih dengan hati. Kamu memilih dengan harapan dan doa.

Dan kelak, anak-anak akan tahu:

Di balik setiap hari panjang di sekolah, ada cinta yang tak pernah berkurang di rumah.


> Karena cinta tidak selalu terlihat dari berapa lama kita bersama mereka,

tapi dari seberapa dalam kita memikirkan masa depan mereka.


L3 Sudut Lesehan Puswil Aceh

Salam 


Fadhlina H


Minggu, 27 April 2025

Peran Ayah, Momen Kecil Berdampak Besar

Lebih dari Sekadar Hiburan: Mengapa Kehadiran Ayah dalam Bermain Sangat Berarti bagi Anak




Pagi itu, ayah sudah rapi dengan pakaian dinas.

Kemeja licin, dasi sudah terpasang, sepatu hitam mengkilap.


Tinggal ambil kunci mobil, lalu berangkat ke kantor.


Tapi tiba-tiba, dari arah ruang keluarga terdengar suara kecil,

"Ayah, bantuin aku bangun kastil ini, yuk."


Di lantai, berserakan kepingan LEGO warna-warni.

Di tengahnya, si kecil duduk dengan mata berbinar, memegang beberapa balok, berusaha menyusun sesuatu yang kelihatan seperti istana mini.


Ayah sempat ragu. Jam sudah menunjukkan waktu yang mepet untuk berangkat.

Tapi melihat ekspresi penuh harap itu, hati mana yang tega menolak?


Ayah tersenyum, melepas jas, lalu berjongkok di samping anaknya.

Tanpa peduli kemeja putih yang mungkin kena sedikit debu LEGO, tanpa khawatir sepatu licin yang sekarang bersentuhan dengan lantai mainan.


Selama lima menit, dunia hanya berisi mereka berdua.

Menyusun balok demi balok. Mencari pintu kecil. Menempelkan menara di atas kastil.

Buat orang dewasa, mungkin ini cuma potongan plastik kecil.

Tapi buat si kecil, ini adalah dunia.

Dunia di mana ayah dan anak membangun sesuatu bersama — bukan sekadar kastil, tapi juga kenangan.


Bermain = Membentuk Ikatan Emosional yang Kuat

Bermain LEGO bareng bukan cuma mengisi waktu. Itu cara sederhana untuk bilang, "Aku di sini untukmu."

Buat anak, kehadiran ayah yang mau duduk sejajar, ikut tertawa saat menara jatuh, ikut berpikir saat susunan ambruk — itu artinya dunia.


Bermain = Belajar Tanpa Rasa Terpaksa

Saat mencari-cari balok yang pas, anak belajar berpikir kreatif.

Saat menyeimbangkan menara yang tinggi, anak belajar tentang kesabaran dan ketekunan.

Dan saat bangunan roboh, anak belajar bahwa gagal itu biasa — dan ada ayah di sampingnya untuk mencoba lagi.


Bermain = Menanamkan Nilai Lewat Tindakan Nyata

Dengan memilih untuk meluangkan lima menit main LEGO sebelum kerja, ayah mengajarkan nilai-nilai penting:

Bahwa orang yang kita cintai pantas mendapat waktu terbaik kita.

Bahwa sesibuk apa pun, keluarga tetap prioritas.


Penutup: Momen Kecil, Dampak Besar

Akhirnya, kastil kecil itu selesai dibangun — meskipun sedikit miring di sudutnya.

Ayah mengecup kepala anaknya, lalu bergegas ke kantor dengan hati yang penuh.

Mungkin sedikit terlambat. Mungkin kemeja sedikit berdebu.


Tapi jauh lebih berarti: ayah baru saja membangun bukan hanya kastil, tapi kenangan.

Sebuah istana kecil di dalam hati anaknya, yang akan bertahan jauh lebih lama daripada apa pun yang dibuat dari LEGO.


Karena buat anak, bermain bersama ayah bukan sekadar hiburan.

Itu adalah cara mereka merasa dicintai, diperhatikan, dan dibangun menjadi kuat.


Taman Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry

Salam


Fadhlina H

Antara target disertasi dan tawa kecil anak-anak



 Minggu di Pustaka: Antara Anak dan Disertasi

Minggu ini aku memutuskan keluar dari rutinitas biasa. Bukan ke mall, bukan ke taman, tapi... ke pustaka.

Misi utamanya: menyelesaikan sebagian dari disertasi yang rasanya makin hari makin memanggil-manggil buat dibereskan.

Tentu saja, misi tambahannya: bawa anak-anak ikut serta.


Pagi-pagi aku udah sibuk siapin "peralatan tempur". Laptop, charger, notes penuh coretan, buku referensi, plus bekal buat anak-anak supaya nggak bosan.

Anak-anak sih heboh karena mikirnya "jalan-jalan ke tempat banyak buku". Aku? Campur aduk antara semangat dan deg-degan.


Sampai di pustaka, suasananya adem banget. Anak-anak langsung sibuk keliling, milih buku cerita, sambil sesekali heboh bisik-bisik, "Lihat ini, Ma!"

Aku memilih sudut tenang, buka laptop, dan mulai menyelami dunia disertasi yang panjang dan penuh catatan kaki.


Tentu saja, perjalanan menyelesaikan disertasi sambil jagain anak nggak seindah bayangan.

Baru fokus lima menit, ada yang datang minta ditemenin baca. Baru nulis satu paragraf, ada yang minta tolong cari toilet. Tapi ya, begitulah.

Belajar berdamai sama ritme baru: sedikit-sedikit, yang penting tetap maju.


Ada satu momen yang bikin aku senyum sendiri — saat anakku yang kecil duduk di sebelahku, sibuk membolak-balik buku cerita, sementara aku di sebelahnya ngetik serius.

Dua dunia beda, tapi rasanya saling menguatkan.

Dia belajar lewat imajinasi. Aku belajar lewat teori dan referensi. Tapi kami ada di tempat yang sama, saling menemani.


Mungkin progress disertasiku hari ini nggak sebanyak target. Tapi rasanya... lebih berarti.

Ada rasa lega, ada rasa bangga — tetap jalan, tetap berusaha, tetap ada untuk anak-anak.


Hari Minggu ini, pustaka bukan cuma tempat baca. Tapi tempat di mana aku belajar lagi tentang keseimbangan: antara mimpi pribadi dan kehadiran untuk keluarga.


Puswil, Minggu, 27 April 2025


Fadhlina H

Kamis, 24 April 2025

kajian ilmiah: Keteladanan dan Modeling Albert Bandura


Hubungan Psikologi Islam dengan Psikologi Sosial: Perspektif Teori Modeling Albert Bandura


Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Dalam kajian psikologi sosial, Albert Bandura merupakan tokoh sentral yang mengembangkan Social Learning Theory atau Teori Belajar Sosial. Salah satu konsep utama dari teori ini adalah modeling, yakni proses belajar melalui pengamatan (observational learning). Bandura menegaskan bahwa manusia tidak hanya belajar melalui pengalaman langsung (trial and error), tetapi juga melalui meniru perilaku orang lain yang dijadikan model.

Menurut Bandura, proses modeling melibatkan empat tahapan utama:

1. Atensi (attention): Individu harus memperhatikan perilaku model.

2. Retensi (retention): Individu harus mampu mengingat apa yang diamati.

3. Reproduksi (reproduction): Individu mencoba meniru atau mereproduksi perilaku tersebut.

4. Motivasi (motivation): Individu termotivasi untuk mengulangi perilaku tersebut jika melihat adanya ganjaran atau hasil positif.

Konsep ini memiliki korelasi yang sangat kuat dengan pendekatan pendidikan dalam Islam, yang sejak awal telah menekankan pentingnya keteladanan sebagai sarana utama pembentukan karakter. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik) bagi umat manusia (QS. Al-Ahzab: 21). Artinya, proses internalisasi nilai-nilai dalam Islam juga sangat mengandalkan observasi, pembiasaan, dan peneladanan terhadap figur yang dianggap saleh atau berakhlak mulia.

Dengan demikian, teori Bandura tidak hanya selaras dengan prinsip-prinsip psikologi Islam, tetapi juga dapat menjadi landasan teoritis yang memperkuat praktik pendidikan karakter di lingkungan pesantren atau dayah. Pendidik, dalam konteks ini, berperan sebagai model perilaku. Keberhasilan pendidikan moral dan spiritual sangat bergantung pada kualitas interaksi dan keteladanan yang mereka tampilkan dalam kehidupan sehari-hari.


Mari kita diskusikan:

Bagaimana menurut sahabat semua, relevansi teori modeling Bandura jika dikaitkan dengan praktik pendidikan Islam saat ini? Apakah para pendidik kita sudah cukup menjadi model yang layak diteladani?

yuk tinggalkan komentarnya. sehat selalu dan terus semangat ya


salam 

Fadhlina H


Mendidik Anak dengan Hati: Menanam Nilai, Bukan Sekadar Mengatur



 Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Alhamdulillah, tulisan ini menjadi langkah pertama saya dalam berbagi seputar dunia parenting. Sebuah dunia yang tidak ada ujungnya, penuh tantangan, namun juga sarat keberkahan bila dijalani dengan niat karena Allah.

Menjadi orang tua bukan hanya soal memberi makan dan pakaian, tapi tentang menanam nilai dan membentuk karakter. Anak bukan hanya butuh aturan, tapi juga perhatian, pelukan, dan keteladanan.

Dalam Islam, Rasulullah SAW sudah memberikan contoh luar biasa dalam mendidik anak: penuh kasih, bijaksana, dan tidak memaksa. Beliau tidak pernah membentak anak kecil, tapi justru memberikan ruang belajar dan tumbuh.

Kadang kita merasa lelah, kewalahan, bahkan ingin menyerah. Tapi ingatlah, setiap kesabaran yang kita tanam insya Allah akan berbuah pahala. Tidak ada usaha yang sia-sia di mata Allah.

Blog ini saya buat untuk berbagi pengalaman, renungan, dan tips seputar parenting islami. Saya percaya, setiap orang tua adalah pembelajar, dan kita semua sedang bertumbuh bersama anak-anak kita.

Semoga blog ini bermanfaat, menginspirasi, dan menjadi ladang pahala. Terima kasih sudah mampir dan membaca.


Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

salam

Fadhlina H

Kenapa Aku Menulis: Awal Sebuah Catatan Hikmah

Assalamu'alaikum...,

Setiap hari adalah pelajaran.

Setiap detik bersama anak, keluarga, mahasiswa dan teman teman, selalu menyimpan makna yang sering kali terlewatkan. Tapi di antara lelah, tawa, dan tangis-selalu ada hikmah yang patut dicatat.

Aku hanyalah seorang ibu biasa yang sedang belajar luar biasa. Seorang ibu rumah tangga dengan enam putra-putri yang menjadi sumber semangat sekaligus madrasah kehidupan yang paling nyata. Di tengah kesibukan mengurus rumah, mendampingi anak-anak tumbuh, dan menjalani peran sebagai istri-aku juga menjalani perjuangan lain: menyelesaikan kuliah di jenjang disertasi.

Bukan jalan yang mudah. Ada air mata di balik layar laptop, ada suara tangis anak di tengah sesi ujian online, ada rasa ingin menyerah ketika tubuh lelah tapi deadline tak mau menunggu. Namun semua itu justru menghadirkan satu kata kunci dalam hidupku: hikmah. Lewat blog ini, aku ingin menyimpan serpihan-serpihan hikmah yang kutemukan sepanjang jalan. bukan karena aku lebih tau, tapi karena aku tak ingin lupa.

Catatan hikmah lahir dari keinginan untuk berbagi. Berbagi kisah, pengalaman, dan renungan seputar dunia parenting, pendidikan, dan kehidupan sehari-hari. Semoga setiap kata yang tertulis di sini bisa menjadi penyemangat, pengingat, atau bahkan penghibur bagi siapapun yang membacanya.

selamat datang di ruang kecil ini. mari bertumbuh bersama dalam cahaya hikmah


salam 

fadhlina H

Antara Kasih dan Luka: Telaah Hubungan Toxic dalam Perspekstif Islam.

 Bismillah... Kutulis kisah ini dengan harapan cinta dan kasih Allah senantiasa tercurah untuk kita semua. Berangkat dari peristiwa yang men...