Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Tulisan ini lahir dari orasi ilmiah Prof.Dr.Phil. Abdul Manan, S.Ag., M.Si., MA. panjang cerita namun ada satu kata yang menarik dan menari di pikiran saya : budaya instan . Memang bukan kata baru, namun ketika meluncur dari lisannya, ia terasa berbeda—seperti mengetuk pintu kesadaran yang lama tertutup.
Budaya instan… kata itu sederhana, tapi membawa saya pada renungan panjang. Kita hidup di zaman serba cepat, di mana semua hal ingin dicapai secepat mungkin: belajar instan, sukses instan, bahkan kebahagiaan pun dicari dengan cara instan. Di satu sisi, ia menawarkan kemudahan. Namun di sisi lain, ia perlahan mengikis daya juang, kesabaran, bahkan jati diri sebuah generasi.
Mungkin itulah mengapa kata ini begitu membekas. Ia bukan sekadar istilah, tapi sebuah cermin yang mencerminkan wajah zaman kita hari ini.
Kemudahan dan Risiko Kehilangan Tradisi Belajar
Zaman sekarang, semuanya terasa serba cepat dan instan. Kalau dulu kita harus sabar menunggu jawaban dari buku tebal atau berdiskusi panjang dengan guru dan teman, sekarang cukup bertanya ke AI dan dalam hitungan detik sudah dapat jawabannya. Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) memang hadir seperti pahlawan super yang memudahkan kita menyelesaikan tugas dan pekerjaan dengan cepat.
Tapi, jangan sampai kemudahan ini justru bikin kita lupa, lho. Ada risiko besar yang harus kita waspadai: semangat belajar kita bisa jadi turun, budaya membaca semakin menipis, dan kemampuan berpikir kritis serta analitis yang selama ini jadi landasan penting belajar, malah melonjak.
Budaya Instan dan Dampaknya pada Semangat Belajar
Budaya instan membuat banyak orang, terutama generasi muda, menjadi kurang sabar dan malas menjalani proses belajar yang sebenarnya membutuhkan waktu dan usaha. Di mana-mana orang pengen “langsung jadi”, gak mau ribet mikir lama, atau membaca banyak sumber.
Padahal, semangat belajar itu bukan hanya soal cepat selesai, tapi juga soal menikmati proses menggali ilmu, mencoba hal baru, dan terus mencari jawaban dengan cara yang mendalam. Kalau proses ini terlewatkan karena AI sudah memberikan segalanya dengan instan, lama-lama semangat belajar itu bisa padam.
Bayangkan kalau kamu setiap kali belajar hanya mengandalkan AI buat jawab soal tanpa benar-benar paham, apa yang terjadi? Lama-lama kamu jadi kurang percaya diri dan kehilangan motivasi untuk mengeksplorasi lebih jauh.
Budaya Membaca yang Semakin Menipis
Salah satu tradisi penting dalam belajar adalah membaca. Membaca buku, artikel, jurnal, dan sumber lain itu seperti “napas” bagi otak kita. Dari membaca, kita belajar memahami berbagai sudut pandang, mempertajam ketajaman, dan melatih konsentrasi.
Sayangnya, budaya membaca di kalangan generasi sekarang mulai melemah. Banyak yang lebih memilih mendapatkan ringkasan instan dari AI atau media sosial daripada membaca langsung. Akibatnya, kemampuan memahami teks yang kompleks menjadi berkurang, dan daya ingat pun menurun.
Padahal, membaca dengan saksama juga melatih otak kita berpikir kritis—menimbang mana informasi yang benar, mana yang kurang valid. Kalau ini hilang, kita jadi lebih mudah percaya informasi palsu atau setengah benar.
Daya Berpikir yang Melemah Karena Jawaban Instan
Berpikir kritis dan analitis adalah kemampuan yang sangat penting, apalagi di dunia yang penuh informasi seperti sekarang. Namun, ketika kita terlalu bergantung pada jawaban instan dari AI, otak kita jadi jarang diajak “berjuang” mencari solusi sendiri.
Proses memecahkan masalah, menganalisis argumen, hingga mengembangkan ide kreatif sebenarnya membuat otak kita “terlatih” dan berkembang. Tapi kalau selalu ada jawaban cepat dari mesin, otak jadi malas untuk aktif, dan kemampuan berpikir mendalam jadi melemah. Ini seperti otot tubuh yang tidak pernah dibor, lama-lama akan mengecil dan lemah.
Kisah Nyata di Dunia Pendidikan
Contoh nyata ada di lingkungan sekolah dan kampus. Ada guru yang curhat bahwa hampir sebagian muridnya mengumpulkan tugas esai yang bahasanya mirip banget. Setelah menyimpannya, ternyata mereka menggunakan aplikasi AI untuk membuat esai tersebut.
Memang, hasilnya cepat dan cepat, tapi pas disuruh menjelaskan isinya, banyak siswa yang bingung dan tidak bisa menguraikan argumen yang mereka tulis. Ini menunjukkan bahwa meskipun AI dapat membantu menyelesaikan tugas, proses belajar dan pemahaman justru jadi terganggu.
Positif dan tantangan.
Di era kecerdasan buatan (AI), generasi muda tumbuh dalam lingkungan serba cepat dan praktis. Dari sisi positifnya, AI menghadirkan akses pengetahuan tanpa batas. Anak dapat belajar mandiri hanya dengan satu klik, memperoleh rangkuman materi, bahkan mengembangkan kreativitas melalui desain, musik, atau tulisan berbasis teknologi. Bagi orangtua, kehadiran AI juga menjadi alat bantu yang meringankan proses pendampingan belajar, termasuk bagi anak dengan kebutuhan khusus.
Namun, di balik kemudahan itu tersimpan tantangan serius. AI mendorong lahirnya budaya instan, di mana anak cenderung puas dengan jawaban cepat tanpa memahami proses belajar. Jika dibiarkan, hal ini berpotensi menimbulkan daya kritis, menurunkan kemampuan analisis, dan mengikis tradisi belajar yang menuntut kesabaran seperti membaca buku, menulis tangan, atau berpikir panjang. Lebih jauh lagi, penggunaan AI yang berlebihan dapat mengurangi interaksi sosial nyata dan membuat anak terlalu bergantung pada teknologi.
Dari perspektif parenting, AI ibarat pisau bermata dua. Peran orangtua menjadi kunci agar teknologi ini dimanfaatkan secara bijak. Pendampingan aktif, penghentian penggunaan, serta penanaman nilai pentingnya proses belajar perlu terus ditegaskan. Dengan demikian, AI dapat berfungsi sebagai sarana pendukung, bukan pengganti, dalam membentuk karakter belajar anak
Bijak Menggunakan AI, Bangun Kembali Semangat Belajar
Teknologi AI memang luar biasa dan membawa banyak kemudahan. Tapi jangan sampai kita jadi kehilangan hal penting: semangat belajar, budaya membaca yang kaya, dan kemampuan berpikir kritis yang tajam.
Kita harus bisa bijak menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti proses belajar yang sesungguhnya. Mari kita kembalikan semangat belajar yang penuh antusiasme, rajin membaca dan mendalami ilmu, serta terus melatih otak kita untuk berpikir kritis dan kreatif.
Dengan begitu, kita tidak hanya cepat mencapai tujuan, tapi juga siap menghadapi tantangan hidup dengan bekal yang kuat dan karakter yang tangguh.
Salam
Fadhlina H




