Senin, 22 September 2025

"Hidup Serba Instan di Era IA, Apa Kabar Tradisi Belajar kita?"

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Tulisan ini lahir dari orasi ilmiah Prof.Dr.Phil. Abdul Manan, S.Ag., M.Si., MA. panjang cerita namun ada satu kata yang menarik dan menari di pikiran saya : budaya instan . Memang bukan kata baru, namun ketika meluncur dari lisannya, ia terasa berbeda—seperti mengetuk pintu kesadaran yang lama tertutup.

Budaya instan… kata itu sederhana, tapi membawa saya pada renungan panjang. Kita hidup di zaman serba cepat, di mana semua hal ingin dicapai secepat mungkin: belajar instan, sukses instan, bahkan kebahagiaan pun dicari dengan cara instan. Di satu sisi, ia menawarkan kemudahan. Namun di sisi lain, ia perlahan mengikis daya juang, kesabaran, bahkan jati diri sebuah generasi.

Mungkin itulah mengapa kata ini begitu membekas. Ia bukan sekadar istilah, tapi sebuah cermin yang mencerminkan wajah zaman kita hari ini.

Kemudahan dan Risiko Kehilangan Tradisi Belajar

Zaman sekarang, semuanya terasa serba cepat dan instan. Kalau dulu kita harus sabar menunggu jawaban dari buku tebal atau berdiskusi panjang dengan guru dan teman, sekarang cukup bertanya ke AI dan dalam hitungan detik sudah dapat jawabannya. Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) memang hadir seperti pahlawan super yang memudahkan kita menyelesaikan tugas dan pekerjaan dengan cepat.

Tapi, jangan sampai kemudahan ini justru bikin kita lupa, lho. Ada risiko besar yang harus kita waspadai: semangat belajar kita bisa jadi turun, budaya membaca semakin menipis, dan kemampuan berpikir kritis serta analitis yang selama ini jadi landasan penting belajar, malah melonjak.

Budaya Instan dan Dampaknya pada Semangat Belajar

Budaya instan membuat banyak orang, terutama generasi muda, menjadi kurang sabar dan malas menjalani proses belajar yang sebenarnya membutuhkan waktu dan usaha. Di mana-mana orang pengen “langsung jadi”, gak mau ribet mikir lama, atau membaca banyak sumber.

Padahal, semangat belajar itu bukan hanya soal cepat selesai, tapi juga soal menikmati proses menggali ilmu, mencoba hal baru, dan terus mencari jawaban dengan cara yang mendalam. Kalau proses ini terlewatkan karena AI sudah memberikan segalanya dengan instan, lama-lama semangat belajar itu bisa padam.

Bayangkan kalau kamu setiap kali belajar hanya mengandalkan AI buat jawab soal tanpa benar-benar paham, apa yang terjadi? Lama-lama kamu jadi kurang percaya diri dan kehilangan motivasi untuk mengeksplorasi lebih jauh.

Budaya Membaca yang Semakin Menipis

Salah satu tradisi penting dalam belajar adalah membaca. Membaca buku, artikel, jurnal, dan sumber lain itu seperti “napas” bagi otak kita. Dari membaca, kita belajar memahami berbagai sudut pandang, mempertajam ketajaman, dan melatih konsentrasi.

Sayangnya, budaya membaca di kalangan generasi sekarang mulai melemah. Banyak yang lebih memilih mendapatkan ringkasan instan dari AI atau media sosial daripada membaca langsung. Akibatnya, kemampuan memahami teks yang kompleks menjadi berkurang, dan daya ingat pun menurun.

Padahal, membaca dengan saksama juga melatih otak kita berpikir kritis—menimbang mana informasi yang benar, mana yang kurang valid. Kalau ini hilang, kita jadi lebih mudah percaya informasi palsu atau setengah benar.

Daya Berpikir yang Melemah Karena Jawaban Instan

Berpikir kritis dan analitis adalah kemampuan yang sangat penting, apalagi di dunia yang penuh informasi seperti sekarang. Namun, ketika kita terlalu bergantung pada jawaban instan dari AI, otak kita jadi jarang diajak “berjuang” mencari solusi sendiri.

Proses memecahkan masalah, menganalisis argumen, hingga mengembangkan ide kreatif sebenarnya membuat otak kita “terlatih” dan berkembang. Tapi kalau selalu ada jawaban cepat dari mesin, otak jadi malas untuk aktif, dan kemampuan berpikir mendalam jadi melemah.  Ini seperti otot tubuh yang tidak pernah dibor, lama-lama akan mengecil dan lemah.

Kisah Nyata di Dunia Pendidikan

Contoh nyata ada di lingkungan sekolah dan kampus. Ada guru yang curhat bahwa hampir sebagian muridnya mengumpulkan tugas esai yang bahasanya mirip banget. Setelah menyimpannya, ternyata mereka menggunakan aplikasi AI untuk membuat esai tersebut.

Memang, hasilnya cepat dan cepat, tapi pas disuruh menjelaskan isinya, banyak siswa yang bingung dan tidak bisa menguraikan argumen yang mereka tulis. Ini menunjukkan bahwa meskipun AI dapat membantu menyelesaikan tugas, proses belajar dan pemahaman justru jadi terganggu.

Positif dan tantangan.

Di era kecerdasan buatan (AI), generasi muda tumbuh dalam lingkungan serba cepat dan praktis. Dari sisi positifnya, AI menghadirkan akses pengetahuan tanpa batas. Anak dapat belajar mandiri hanya dengan satu klik, memperoleh rangkuman materi, bahkan mengembangkan kreativitas melalui desain, musik, atau tulisan berbasis teknologi. Bagi orangtua, kehadiran AI juga menjadi alat bantu yang meringankan proses pendampingan belajar, termasuk bagi anak dengan kebutuhan khusus.

Namun, di balik kemudahan itu tersimpan tantangan serius. AI mendorong lahirnya budaya instan, di mana anak cenderung puas dengan jawaban cepat tanpa memahami proses belajar. Jika dibiarkan, hal ini berpotensi menimbulkan daya kritis, menurunkan kemampuan analisis, dan mengikis tradisi belajar yang menuntut kesabaran seperti membaca buku, menulis tangan, atau berpikir panjang. Lebih jauh lagi, penggunaan AI yang berlebihan dapat mengurangi interaksi sosial nyata dan membuat anak terlalu bergantung pada teknologi.

Dari perspektif parenting, AI ibarat pisau bermata dua. Peran orangtua menjadi kunci agar teknologi ini dimanfaatkan secara bijak. Pendampingan aktif, penghentian penggunaan, serta penanaman nilai pentingnya proses belajar perlu terus ditegaskan. Dengan demikian, AI dapat berfungsi sebagai sarana pendukung, bukan pengganti, dalam membentuk karakter belajar anak

Bijak Menggunakan AI, Bangun Kembali Semangat Belajar

Teknologi AI memang luar biasa dan membawa banyak kemudahan. Tapi jangan sampai kita jadi kehilangan hal penting: semangat belajar, budaya membaca yang kaya, dan kemampuan berpikir kritis yang tajam.

Kita harus bisa bijak menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti proses belajar yang sesungguhnya. Mari kita kembalikan semangat belajar yang penuh antusiasme, rajin membaca dan mendalami ilmu, serta terus melatih otak kita untuk berpikir kritis dan kreatif.

Dengan begitu, kita tidak hanya cepat mencapai tujuan, tapi juga siap menghadapi tantangan hidup dengan bekal yang kuat dan karakter yang tangguh.

Salam

Fadhlina H



Senin, 19 Mei 2025

Antara Kasih dan Luka: Telaah Hubungan Toxic dalam Perspekstif Islam.

 Bismillah...

Kutulis kisah ini dengan harapan cinta dan kasih Allah senantiasa tercurah untuk kita semua. Berangkat dari peristiwa yang menyayat hati dan mengguncang emosi yang tertahan, kisah pilu yang di alami oleh sahabatku menjadi cermin bagi kita semua. dengan dukungan suami, kisah ini coba kami kupas melalui sudut pandang psikologi Islam, sebagai ikhtiar memahami, bukan sekedar menyalahkan. Mengapa ini penting? karena kisah serupa kembali viral di media sosial. Mungkin, di antara kita ada yang pernah merasakan luka yang sama. jika tulisan ini menyentuh hatimu, tinggalkan komentar. siapa tahu, suara hatimu bisa menjadi cahaya bagi yang lain.

ANTARA KASIH DAN LUKA: TELAAH HUBUNGAN TOXIC DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Pernah ngak sih, kamu merasa capek banget setelah ngobrol sama seseorang? bukan capek karena lari maraton, tapi capek di hati. kayak habis di cabik-cabik secara halus tanpa teriak, tanpa pukul, tapi rasanya nyesek banget. mungkin... itu bukan sekedar obrolan. Bisa jadi, kamu sedang berada dalam hubungan toxic.

Toxic relationship itu ngak selalu soal pasangan. Bisa sahabat, keluarga, atau bahkan rekan kerja. Tapi yang paling sering bikin luka dalam, ya hubungan yang katanya "cinta" tapi isinya luka.

kita mulai dengan kisah nyata...

Namanya wati. Ibu dari empat anak, wanita yang dulu dipinang dengan janji cinta dan pelukan doa. tapi semuanya berubah ketika suaminya mulai dekat dengan teman perempuan lain, mengatasnamakan teman tapi mesra. Komunikasi jadi hambar, pertengkaran tak berujung, pulang makin larut, dan tatapan suami tidak lagi hangat seperti dulu, kekecewaan terbesar adalah anak anak terluka.

Saat Wati mulai menyampaikan keluh kesah, berharap didengar, yang ia terima justru bentakan. Ucapan kasar jadi sarapan pagi, sikap dingin jadi selimut malam. Anak- anak menangis menyaksikan menyaksikan ibunya di perlakukan seperti musuh di rumah sendiri, tapi wati masih mencoba bertahan. Demi anak dan demi janji suci yang pernah terucap.

Padahal, dalam Islam cinta membawa ketenangan. Dalam Surat Ar-Rum ayat 21 Allah berfirman: " Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu merasa tenteram kepadanya."

 Tenteram. Bukan tertekan. Cinta yang sehat itu harusnya jadi pelindung, bukan penyebab dan pemicu cemas. tapi kenapa banyak dari kita yang bertahan dalam hubungan yang justru bikin hancur pelan-pelan?

Kadang kita bingung bedain mana sabar, dan mana bodoh. mana luka, mana cinta. Kita terlalu banyak khawatir keluar dari hubungan yang ngak sehat, takut gagal dan takut sendiri, atau merasa ngak layak di cintai kalau bukan dengan dia. Tapi sayang, Islam tidak mengajarkan kita untuk terus-menerus bertahan dalam kezaliman. Rasulullah juga berpesan: " Seorang Muslim adalah orang yang tidak menyakiti Muslim lainnya dengan lisan dan tanganya." ( HR. Bukhari).

kalau kamu disakiti terus-menurus secara fisik, ucapan, bahkan perlakuan diam yang menyiksa- itu bukan cinta. itu kezaliman. Dan Islam sangat menentang kezaliman, termasuk terhadap diri sendiri. Keluar dari hubungan toxic itu bukan berarti ngak sabar. itu justru bentuk ikhtiar untuk menyelamatkan dirimu. Karena Allah nggak akan pernah ridha melihat hamba-Nya terus-menerus tersiksa.

Cinta dalam Islam itu waddah, rahmah dan sakinah. Ada cinta, ada kasih, dan ada ketenangan. kalau yang di rasakan adalah takut, lelah dan ngak jadi diri sendiri, itu pertanda kuat untuk mulai mengevaluasi. Ingat, menjaga diri juga bagian dari ibadah. Meninggalkan yang menyakitimu bukan dosa. Kadang, itu justru pintu hijrah terbaik menuju hidup yang lebih tenang dan penuh keberkahan.

Toxic relationship. hubungan yang bukannya bikin bahagia malah bikin stres, cemas, merasa gak berharga, bahkan kehilangan jati diri. Bisa terjadi antara pasangan, teman, bahkan keluarga. Tapi, tahu ngak? kalau jauh sebelum istilah "Toxic relationship" muncul, para ilmuwan Muslim seperti Ibnu Sina dan Al-Ghazali sudah membahas hal-hal serupa- tentunya dengan istilah dan pendekatan yang khaz zaman mereka.

Ibnu Sina: Gunakan Akalmu untuk Selamatkan Jiwamu.

Ibnu Sina, seorang filsuf dan dokter Muslim abad ke-10, membahas tentang jiwa manusia dalam bukunya Kitab al-Nafs. Menurut beliau, jiwa kita terdiri dari beberapa bagian: yang mengatur emosi, akal dan kebutuhan fisik. Nah, kalau seseorang terus-menerus hidup dalam tekanan emosional- dimarahi, dikontrol, atau diremehkan ini bisa merusak keseimbangan jiwa kita. Ibun Sina percaya bahwa akal harus digunakan untuk melindungi diri. Artinya kita berhak dan wajib menjauh dari hal-hal yang bikin kita kehilangan kendali stress, atau sakit hati yang berlarut-larut. Kalau kamu merasa tersiksa dalam hubungan ini, Ibnu Sina seakan berkata: "Gunakan akalmu, Jiwa kamu terlalu berharga untuk terus disakiti".

Al Ghazali: Hubungan Sehat itu Menguatkan Hati, Bukan Merusaknya.

Al Ghazali adalah ulama dan ahli tasawuf abad ke-11 yang banyak bicara soal hati. Jiwa dan akhlak. Menurut beliau, hati manusia itu seperti cermin. Kalau terus-menerus terkena debu seperti amarah, iri, dengki, dan dendam maka hati jadi buram dan jauh dari ketenangan. Hubungan yang Toxic adalah salah satu penyebab debu-debu itu menumpuk kalau kita terus berada di lingkungan yang membuat kita marah, sedih, atau rendah diri, maka hati kita akan lelah dan rusak imam Al Ghazali menyarankan agar kita untuk melakukan Muhasabah (introspeksi), menjaga pergaulan dan mencari lingkungan yang mendekatkan diri kepada kebaikan dalam kata lain imam Al Ghazali bilang: kalau hubunganmu menjauhkanmu dari ketenangan dan Tuhanmu itu tanda ada yang harus diperbaiki dan ditinggalkan. 

Jadi apa yang bisa kita lakukan?

1. Kenali tanda-tanda hubungan Toxic 

2. Gunakan akan akal sehat seperti nasehat Ibnu Sina.

3. Rawat hatimu dan jiwamu seperti yang diajarkan imam Al Ghazali 

Beranilah mengambil keputusan dalam artian keluar dari hubungan Toxic bukan berarti kamu menyerah tapi justru bentuk menyayangi diri sendiri. Kamu Berhak Bahagia kadang kita bertahan karena takut sendirian, dianggap egois, atau merasa sudah terlalu jauh berjalan. Tapi percayalah jiwa dan hati kamu jauh lebih penting dari semua itu. Ibu Ibnu Sina dan Al-Ghazali dengan gaya masing-masing mengajarkan bahwa menjaga kesehatan jiwa adalah bagian dari ibadah dan bentuk syukur pada Allah kamu Berhak Bahagia, damai, dan Utuh. Jangan biarkan siapapun Bahkan yang kamu cintai merusak itu.

Akhir kata: Sayangi Dirimu, Karena kamu Berharga.


salam, 

Fadhlina H

"Antara Kasih dan Luka: Cinta yang Menyakitkan dalam Pandangan Islam"

 

Jiwa yang damai adalah pintu menuju kebahagian sejati


"Hubungan Toxic dalam Pandangan Islam: Antara Cinta, Luka dan Jalan Keluar"

"Banyak orang bertahan dalam hubungan yang menyakitkan atas nama cinta. Tapi benarkah itu cinta yang diridhai Allah? yuk, pelajari lebih dalam tentang cinta sehat versi Islam."

Cinta itu memang indah. Tapi nggak semua cinta bikin bahagia. Kadang, justru dari yang katanya cinta, muncul luka paling dalam. Nggak sedikit orang yang bertahan dalam hubungan penuh tangis, teriakan, bahkan kehancuran batin… tapi tetap bilang, “aku cinta dia.”

Yup, ini yang disebut hubungan toxic—hubungan yang meracuni jiwa, pikiran, bahkan bisa mempengaruhi kualitas ibadah.

Tapi sebagai Muslim, gimana sih seharusnya kita menyikapi hubungan seperti ini? Yuk, kita bahas pelan-pelan.

Cinta yang Sehat Versi Islam

Islam tidak pernah melarang cinta. Bahkan, cinta adalah fitrah suci manusia. Tapi cinta dalam Islam tidak cukup hanya dengan rasa. Ia harus ditopang oleh rahmat, tanggung jawab, dan komitmen. Dalam QS. Ar-Rum:21, Allah menjelaskan bahwa pernikahan adalah tempat ditanamkannya mawaddah (cinta penuh gairah) dan rahmah (kasih sayang).

Artinya, kalau hubunganmu justru membuatmu semakin jauh dari rasa tenang, kehilangan harga diri, dan kehilangan arah hidup—mungkin itu bukan cinta yang Allah ridhoi.

Menurut Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, cinta yang sehat akan membawa seseorang lebih dekat kepada Allah, bukan sebaliknya. Cinta yang merusak jiwa adalah cinta yang tidak dituntun oleh iman dan akhlak.

Apa Itu Toxic?

Secara psikologis, hubungan toxic adalah hubungan yang penuh manipulasi, tekanan, dan penderitaan batin. Ciri-cirinya bisa berupa:

  • Dimanipulasi secara emosional
  • Dihina atau diremehkan
  • Dilarang berkembang atau bersosialisasi
  • Tidak dihargai pendapatnya
  • Merasa kehilangan jati diri

Islam jelas menolak perilaku ini. Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Seorang Muslim tidak boleh menzalimi Muslim lainnya, dan tidak boleh membiarkannya dalam kesulitan." (HR. Bukhari-Muslim)

Menurut Dr. Malik Badri, seorang pakar psikologi Islam, hubungan yang penuh tekanan emosional dan merendahkan martabat adalah bentuk ketidakadilan psikologis yang berbahaya bagi perkembangan ruhani seseorang. Islam mendorong afiyah (kesejahteraan jiwa), bukan penderitaan yang dibungkus atas nama kesabaran semu.

Tanda-Tanda Kamu Lagi di Hubungan Toxic (Menurut Perspektif Islam)

Coba refleksi beberapa tanda ini:

  1. Kamu sering merasa bersalah tanpa sebab.
  2. Kamu takut berkata jujur karena takut dimarahi atau ditinggal.
  3. Pasangan sering merendahkanmu di depan orang lain.
  4. Kamu merasa kehilangan semangat untuk beribadah.
  5. Komunikasi hanya berisi tuduhan dan konflik, bukan kasih dan solusi.

Menurut Ustazah Aidhah al-Qarni, dalam Islam, hubungan yang sehat harus memperkuat spiritualitas dan menjadikan rumah sebagai tempat ternyaman untuk tumbuh dan mencintai karena Allah.

Luka yang Tak Terlihat, Tapi Terasa

Hubungan toxic tidak selalu meninggalkan bekas fisik. Tapi luka psikisnya terasa sampai ke ibadah. Kamu jadi:

  • Kehilangan kepercayaan diri
  • Sulit tidur
  • Gampang marah
  • Malas berdoa dan beribadah
  • Merasa jauh dari Allah

Menurut Prof. Haifaa Younis, kerusakan emosional dari hubungan buruk bisa menghambat koneksi ruhani dengan Allah. Bahkan bisa menurunkan kualitas khusyuk dalam shalat. Maka menjaga emosi dan kesehatan mental adalah bagian dari menjaga agama.

Terus, Gimana Jalan Keluarnya?

Pertama: Sadar. Jangan membenarkan hubungan yang menyakitkan hanya karena takut “dibilang durhaka” atau karena stigma sosial.

Kedua: Cari pertolongan. Bicaralah pada orang yang tepat—orang tua, guru, ustaz/ustazah, atau konselor yang memahami nilai-nilai Islam.

Ketiga: Kuatkan hubungan dengan Allah. Kadang kita bertahan karena merasa nggak punya siapa-siapa. Tapi sebenarnya, Allah adalah sebaik-baik pelindung. Islam tidak melarang perpisahan jika hubungan penuh kezaliman. Dalam QS. An-Nisa: 130, Allah berfirman bahwa jika suami-istri berpisah, Allah akan mencukupi keduanya dengan karunia-Nya.

Hubungan Sehat dalam Islam Itu...

  • Komunikasi dua arah, bukan dominasi sepihak
  • Saling menghormati, bukan menjatuhkan
  • Saling mendukung, bukan menekan
  • Saling menumbuhkan, bukan saling melukai

Nabi SAW bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang terbaik kepada keluargaku.” (HR. Tirmidzi)

Jadi ukuran terbaik bukan sekadar akhlak di luar rumah, tapi kebaikan dalam memperlakukan pasangan dan anak-anak.

Penutup

Cinta tidak seharusnya membuatmu kehilangan diri sendiri. Islam ingin kamu tenang, damai, dan bahagia. Jika hubunganmu lebih banyak lukanya daripada senyumnya, mungkin ini saatnya kamu istirahat. Bukan karena menyerah, tapi karena kamu ingin pulih. Karena kamu ingin dekat dengan Allah.

Ingat:
Kamu berhak dicintai dengan sehat.
Kamu berhak dihargai, bukan dihinakan.
Dan yang paling penting, kamu berhak bahagia.

Pernahkah kamu mengalami hubungan seperti ini? bagaimana cara kamu keluar dari luka itu? Tulis di kolom komentar, siapa tahu bisa menguatkan orang lain juga.


Salam

Fadhlina H

Sabtu, 03 Mei 2025

"Canggihnya AI Personal Assistant: Penolong Sejati atau Pemicu Mager?"





Canggihnya AI Personal Assistant: Penolong Sejati atau Pemicu Mager?

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup makin ribet, waktu makin sempit, tapi urusan makin banyak? Nah, untungnya sekarang ada yang bisa bantu: AI Personal Assistant! Dari yang bisa bantuin nulis, nyari info, sampai ngatur jadwal—hidup kayaknya jadi lebih simpel.

Tapi... ini bantu atau malah bikin kita makin males mikir, ya?

---

Apa Sih AI Personal Assistant Itu?

AI Personal Assistant itu kayak asisten pribadi digital. Bedanya, dia nggak pakai seragam dan nggak minum kopi. Tapi bisa bantuin kamu kapan aja lewat HP atau laptop.

Beberapa contohnya:

ChatGPT: ngebantu brainstorming ide, nulis artikel, atau diskusi apa aja.

Google Assistant: bantu cari info, ngingetin jadwal, dan bahkan atur lampu rumah!

Siri: bisa muterin lagu, buka aplikasi, dan nemenin tanya-tanya random.

---

Manfaatnya Banyak Banget!

Kalau kamu sibuk, pasti kerasa banget manfaat AI ini. Misalnya:

Pelajar bisa minta diringkasin materi belajar.

Orang tua bisa cari dongeng anak atau ide bekal sekolah.

Pekerja kantoran tinggal minta bantuan nyusun email atau presentasi.

Semua serba cepat dan praktis. Waktu pun jadi lebih efisien.

---

Tapi… Ada Juga Sisi Gelapnya

Nggak bisa dipungkiri, secanggih apa pun teknologi pasti ada plus-minusnya.

Bikin terlalu nyaman. Bisa-bisa kita malas mikir sendiri.

Masalah privasi. Data pribadi harus dijaga, jangan asal ketik sembarangan.

Menggeser pekerjaan manusia. Beberapa profesi mulai tergantikan otomatisasi.

Makanya penting banget buat tetap sadar cara pakainya.

---

Pengalaman Pribadi: AI Bantu Aku Diskusi Soal Perkembangan Anak

Aku pribadi udah pakai AI, khususnya ChatGPT, buat banyak hal. Tapi yang paling berkesan: buat diskusi soal perkembangan anak-anakku.

Kadang aku bingung anak kenapa susah fokus, atau kenapa suka ngambek tiba-tiba. Aku coba ngobrol dengan AI, dan ternyata dapet banyak insight, bahkan referensi pendekatan yang bisa aku coba langsung di rumah. Rasanya kayak punya “teman mikir” yang siap bantu kapan aja.

Buat aku yang punya tanggung jawab rumah tangga dan ngurus anak, ini sangat membantu banget! Serius, bisa jadi penolong banget saat lagi lelah mikir sendirian.

---

Tips Pakai AI Supaya Nggak Kebablasan

1. Gunakan buat bantu, bukan gantiin otak. Biarkan AI kasih masukan, tapi tetap kita yang mutusin.

2. Jangan masukin data sensitif. AI itu alat bantu, bukan brankas rahasia.

3. Pakai buat produktif. Bikin konten, belajar, eksplor ide bisnis, atau diskusi parenting—lebih berguna daripada cuma buat iseng.

---

Arahan Islam dalam Menghadapi Kemajuan Zaman

Sebagai muslim, kita nggak cuma dituntut buat adaptif terhadap perubahan zaman, tapi juga tetap berpegang pada nilai-nilai Islam sebagai kompas hidup. Termasuk dalam urusan teknologi seperti AI ini.

1. Prinsip Manfaat dan Mudharat

Dalam Islam, segala sesuatu dinilai dari segi manfaat (maslahat) dan bahaya (mudharat). Rasulullah SAW bersabda:

> "Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman." (HR. Muslim)

Teknologi seperti AI bisa jadi maslahat besar kalau dipakai untuk kebaikan—belajar, bekerja, berdakwah, atau meningkatkan kualitas hidup. Tapi kalau disalahgunakan atau bikin kita jauh dari Allah, maka itu jadi mudharat.

2. Gunakan Teknologi Sebagai Amanah

Dalam Islam, ilmu dan alat adalah amanah. Termasuk AI. Kita akan dimintai pertanggungjawaban atas bagaimana kita menggunakannya.

> "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Jadi kalau AI kita pakai buat mempercepat pekerjaan, mendidik anak, atau menambah wawasan, insyaAllah itu bernilai ibadah. Tapi kalau malah bikin lalai, ya kita perlu evaluasi.

3. Jangan Lupa Adab

Pintar boleh, canggih boleh, tapi adab tetap nomor satu. Bahkan Imam Malik pernah berkata, “Pelajarilah adab sebelum belajar ilmu.” Dalam interaksi digital, penting banget untuk:

Menjaga niat dan lisan (meskipun lewat ketikan).

Nggak menyalahgunakan AI buat hal buruk.

Tetap rendah hati, walau tahu banyak berkat bantuan teknologi.

4. Seimbang Antara Dunia dan Akhirat

AI bisa bantu urusan dunia, tapi jangan sampai melalaikan akhirat. Islam mengajarkan keseimbangan antara kerja dunia dan persiapan untuk kehidupan kekal.

> "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia." (QS. Al-Qashash: 77)

---

Kesimpulannya:

AI memang teman yang keren di era sekarang. Tapi sebagai muslim, kita diajarkan untuk menggunakan segala bentuk kemajuan dengan hikmah—bijak, bermanfaat, dan tetap dalam koridor syariat.

Yuk, kita manfaatkan teknologi bukan cuma buat produktivitas, tapi juga sebagai jalan kebaikan. Dan jangan lupa, kecanggihan itu dari Allah, dan hanya dengan petunjuk-Nya kita bisa menggunakannya dengan benar.


Bersama babyru cerita kecil ini di tuangkan.

salam 

Fadhlina H

Kamis, 01 Mei 2025

"Hari Pendidikan Nasional: Pendidikan Adalah Lentera"


 

Pendidikan Adalah Lentera: Merayakan Hardiknas di Tengah Arah Baru Bangsa

Tanggal 2 Mei bukan sekadar tanggal biasa. Ia adalah pengingat, bahwa bangsa besar tidak dibangun oleh kekuatan ekonomi semata, tetapi oleh cahaya ilmu yang menyentuh hati dan menggerakkan akal. Hari Pendidikan Nasional adalah saat kita menunduk sejenak, menengok ke dalam, dan bertanya: Apakah kita sudah cukup memberi cahaya?


Ki Hadjar Dewantara tak hanya mengajarkan pendidikan, beliau menghidupkannya.

Melalui semboyan abadi:

“Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani,”

kita diingatkan bahwa mendidik adalah tentang memberi arah, membangun semangat, dan menjadi penopang harapan. Sebuah warisan nilai yang tak pernah usang, meski zaman terus berubah.


Di tengah arus zaman, pendidikan kita menghadapi ujian baru.

Digitalisasi berkembang pesat, tapi apakah semua anak negeri sudah merasakannya? Di sudut-sudut negeri, masih ada anak yang menyeberangi sungai demi menuntut ilmu, guru yang mengajar dengan keterbatasan, dan sekolah yang berdiri rapuh namun penuh semangat. Mereka adalah wajah sejati pendidikan: sederhana namun kuat, tak terlihat namun luar biasa.


Namun kita tak boleh menyerah.

Pendidikan bukan hanya urusan pemerintah atau guru, tapi panggilan untuk kita semua. Dari rumah, kita bisa mulai: menanamkan nilai, memberi teladan, mendengar suara anak-anak dengan hati terbuka. Setiap kata yang baik, setiap pelukan yang tulus, setiap dorongan untuk mencoba lagi—semuanya adalah bagian dari pendidikan.


Mari menjadi cahaya.

Di kelas atau di rumah, di kota atau di desa—di mana pun kita berada, kita bisa memilih untuk menjadi bagian dari harapan. Karena sejatinya, pendidikan bukan hanya tentang buku dan papan tulis. Ia tentang menyentuh hidup, mengubah arah, dan menyalakan lentera dalam jiwa manusia.

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025.

Untuk setiap guru yang tak lelah membimbing, untuk setiap anak yang terus bermimpi, dan untuk setiap hati yang percaya bahwa pendidikan bisa mengubah dunia—hari ini untuk kalian.


Teruslah belajar, teruslah menginspirasi.

Karena bangsa yang besar, dimulai dari hati yang mau mendidik dan dididik.


salam Merdeka 


Fadhlina H

Ketika Kompas Hidup Hilang: Refleksi Psikologi Islam dari Buku Ayah, Ini Arahnya ke Mana, Ya?

"Ketika ruang ayah kosong, berdamailah dengan diri bahwa ruang Tuhan tak pernah hampa."


Ketika Kompas Hidup Hilang: Refleksi Psikologi Islam dari Buku Ayah, Ini Arahnya ke Mana, Ya?

Apa jadinya hidup tanpa arahan seorang ayah? Buku Ayah, Ini Arahnya ke Mana, Ya? karya Khoirul Trian menyajikan kisah penuh emosi tentang kehilangan figur ayah yang menjadi kompas hidup seorang anak. Dengan gaya naratif yang puitis, buku ini menyentuh jiwa banyak pembaca, terutama mereka yang merasakan kekosongan figur ayah (fatherless). Dalam perspektif psikologi Islam, kehilangan ayah bukan akhir dari segalanya. Justru itu adalah awal pencarian makna hidup dan koneksi spiritual yang lebih dalam.

Ayah sebagai Kompas dan Qawwam dalam Kehidupan

Sosok ayah dalam Islam memiliki posisi penting sebagai qawwam (pemimpin) keluarga. Allah SWT berfirman:

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS. An-Nisa: 34)

Dalam buku ini, ketika sang ayah tiada, tokoh utama merasa kehilangan arah. Hal ini sejalan dengan konsep dalam psikologi Islam bahwa peran ayah sangat berpengaruh terhadap kestabilan emosi dan perkembangan karakter anak. Ayah bukan sekadar pencari nafkah, tapi juga simbol kestabilan, keberanian, dan pedoman nilai.

Luka Batin dan Terapi Spiritual

Rasa kehilangan yang mendalam dalam buku ini merupakan bentuk dari grief process, atau proses berduka. Dalam Islam, kesedihan tidak diabaikan. Rasulullah SAW sendiri menangis saat kehilangan anak dan sahabat-sahabatnya. Namun, Islam mengajarkan bahwa setiap luka adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

"Dan sungguh, Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 155)

Tokoh utama dalam buku ini digambarkan larut dalam kesedihan, namun perlahan menemukan cara untuk berdamai dengan kehilangan tersebut—sebuah cerminan dari terapi spiritual yang disebut sabr dan tawakkal dalam psikologi Islam.

Menerima Qadar dan Melanjutkan Hidup

Bagian paling menggetarkan dari buku ini adalah proses penerimaan. Tokoh utama mulai memahami bahwa kehilangan sang ayah tidak menghentikan hidupnya, justru memperkuatnya. Ia menemukan arah baru dari dalam dirinya.

Dalam psikologi Islam, tahap ini dikenal dengan maqam ridha—derajat di mana seseorang menerima takdir Allah dengan hati lapang. Inilah puncak penyembuhan jiwa.

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216)

Buku ini mengajarkan bahwa arah terbaik dalam hidup bukan yang kita rancang sendiri, tetapi yang Allah tunjukkan lewat jalan kehilangan dan ujian.


Buku Ayah, Ini Arahnya ke Mana, Ya? adalah refleksi yang kuat tentang kehilangan dan pencarian arah hidup. Dalam terang psikologi Islam, kehilangan figur ayah bisa menjadi momen kembali kepada Allah sebagai Al-Hadi (Sang Penunjuk Jalan). Saat kompas hidup duniawi hilang, iman menjadi kompas hakiki.

"Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." (QS. Al-Insyirah: 6)

Semoga buku ini menjadi pengingat bahwa kehilangan bisa menjadi pintu menuju kekuatan, dan bahwa dalam setiap kehilangan, Allah menanamkan peluang untuk menemukan jati diri yang lebih sejati.


Salam Jumat Berkah


Fadhlina H

Selasa, 29 April 2025

Lighthouse Parenting: Cara Baru Mendidik Anak Tanpa Overprotektif.


Lighthouse Parenting: Cara Baru Mendidik Anak Tanpa Overprotektif

Pagi hari di rumah kami adalah medan latihan sabar yang sesungguhnya. Sebagai ibu dari enam anak, saya hampir selalu memulai hari dengan multitasking: membangunkan anak, mempersiapkan bekal, melerai yang bertengkar, mengejar yang ogah mandi, hingga menenangkan yang sedang merajuk.

Dulu saya pikir saya harus mengatur semua agar berjalan sempurna. Tapi semakin anak-anak bertambah besar, saya menyadari: peran saya bukan untuk menggenggam erat, melainkan untuk membimbing dengan bijak.

Itulah saat saya mengenal konsep Lighthouse Parenting—dan saya langsung terhubung.

---

Apa Itu Lighthouse Parenting?

Lighthouse Parenting adalah pendekatan pengasuhan yang diperkenalkan oleh Dr. Kenneth Ginsburg. Ia menggambarkan peran orang tua seperti mercusuar: teguh berdiri, memberi cahaya, tapi tidak mengejar kapal ke mana-mana. Orang tua cukup hadir sebagai penunjuk arah, bukan pengendali penuh.

Dalam Islam, kita diajarkan konsep yang sangat selaras dengan ini:

> “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa: 9)


Islam mendorong kita untuk membesarkan anak-anak menjadi pribadi kuat, bertakwa, dan berani menghadapi hidup, bukan hanya sekadar “selamat”.

---

Mengapa Ini Relevan?

Di zaman serba instan dan penuh tekanan ini, banyak dari kita tanpa sadar menjadi orang tua yang overprotektif. Kita ingin anak kita bebas dari luka, gagal, atau kecewa. Tapi Islam dan sains sama-sama mengajarkan: proses itulah yang membentuk jiwa tangguh.


Nabi Ibrahim AS tak membesarkan Nabi Ismail AS dalam kemanjaan. Justru dengan kepercayaan dan latihan kemandirian, beliau membentuk seorang anak yang siap berkata:

> "Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."(QS. Ash-Shaffat: 102)

Bukankah itu bentuk nyata dari keberhasilan pengasuhan yang berimbang?

---

Cara Saya Menerapkannya di Rumah

1. Mendelegasikan Peran

Anak-anak yang lebih besar belajar membantu adik-adiknya. Ini melatih tanggung jawab dan empati, serta menciptakan iklim tolong-menolong seperti yang diajarkan Rasulullah SAW.

2. Menguatkan, Bukan Menyalahkan

Saya belajar menahan lidah saat anak melakukan kesalahan. Saya bantu mereka merenung dan belajar, bukan langsung memarahi. Bukankah Nabi SAW pun tidak pernah memarahi pembantunya meski salah?

3. Berdoa dan Bertawakal

Setiap kali melepas mereka ke sekolah atau memberi ruang bagi mereka untuk memilih, saya iringi dengan doa. Sebab, pada akhirnya kita hanya bisa berikhtiar dan Allah-lah yang menjaga.

---

Kesulitan & Keuntungan

Tentu tidak mudah. Terkadang lebih cepat kalau saya yang langsung ambil alih. Tapi saya ingin anak-anak saya tumbuh bukan hanya cerdas, tapi berjiwa mandiri dan berani, seperti yang diajarkan dalam Islam.

Saat saya melihat mereka saling membantu, belajar meminta maaf, atau menyelesaikan konflik sendiri—saya tahu mereka sedang tumbuh menjadi pribadi yang utuh.

---

Kesimpulan: Menjadi Mercusuar Bercahaya Iman

Menjadi orang tua adalah amanah. Tapi amanah ini bukan untuk memegang kendali penuh, melainkan untuk mengarahkan dan menanamkan nilai-nilai hidup yang kokoh.

Lighthouse Parenting mengajarkan kita untuk percaya pada anak, sambil tetap hadir sebagai panutan. Dan Islam mengajarkan kita bahwa panutan terbaik adalah akhlak, bukan tekanan.


Maka hari ini, saya memilih menjadi mercusuar—yang memancarkan cahaya cinta, nilai, dan keimanan.

Karena anak-anak kita bukan milik kita sepenuhnya. Mereka titipan Allah, yang harus kita siapkan untuk menghadapi dunia dengan cahaya-Nya.


Ditulis sambil menemani Babyru bermain lego—karena di sela-sela lelah, ada cinta yang ingin dibagikan. Semoga jadi berkah dan penguat untuk para ibu yang sedang berjuang.

Salam.


Fadhlina H

"Hidup Serba Instan di Era IA, Apa Kabar Tradisi Belajar kita?"

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Tulisan ini lahir dari orasi ilmiah Prof.Dr.Phil. Abdul Manan, S.Ag., M.Si., MA. panjang ce...